HUKUMAN BAGI PEZINA (Termasuk Pacaran)
by Ghazali Kamal Reza Al-Baihaqi on Friday, October 15, 2010 at 7:03pm
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM..
عوذ بالله من الشيطان الرجيم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)
Marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan…
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (Al-Ahzab : 56)
Saat ini bukan hal aneh lagi jika kita melihat sepasang remaja bergandengan tangan, bermesra-mesraan, bahkan berciuman di tempat umum. Pacaran, itulah sebutannya. Tidak memandang usia, baik mahasiswa, SMA, SMP, bahkan anak SD pun sudah ada yang mengarah kesana. Seakan-akan hal ini sudah menjadi budaya bangsa kita ini.Alasannya pun bermacam-macam, mulai dari perkenalan sebelum menuju ke jenjang rumah tangga hingga ada pula yang hanya untuk bersenang-senang.
Lalu, bagaimanakah pandangan Islam sebenarnya tentang hal ini? Dan bagaimana “pacaran” yang islami?
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. Sabdanya : “Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua mata, zinanya memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan rindu, sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti dan tidak mengikuti.” (Hadis Shahih Muslim No. 2282)
Jika kita melihat dari Hadis Shahih Muslim tersebut, sudah jelas-jelas bahwa Pacaran itu termasuk Zina.
Zina Mata = Memandang
Zina Telinga = Mendengar
Zina Lidah = Berkata
Zina Tangan = Memegang
Zina Kaki = Melangkah
Zina Hati = Ingin dan Rindu
Memang ini semua masuk dalam kategori Zina kecil. Tapi ini semua menjadi pintu untuk melakukan Zina besar (ML/Making Love), seperti dijelaskan pada akhir hadis yang berbunyi “…sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti dan tidak mengikuti.”
Kenapa? Karena tidaklah mungkin orang akan berzina besar, jika zina kecil ini tidak dilakukan terlebih dahulu. Dan bisa kita saksikan sendiri, sudah banyak poling yang menyatakan bahwa lebih dari 50% remaja yang yang pacaran sudah pernah melakukan ML. Jadi meskipun zina kecil, hal ini juga tetap haram hukumnya.
Hukum Zina
Al-Imam Ahmad berkata: “Aku tidak mengetahui sebuah dosa -setelah dosa membunuh jiwa- yang lebih besar dari dosa zina.”
Dan Allah menegaskan pengharamannya dalam firmanNya:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali? dengan (alasan) yang? benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina kecuali orang-orang yang bertaubat …” (Al-Furqan: 68-70).
Dalam ayat tersebut, Allah menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan vonis hukumannya adalah kekal dalam adzab berat yang berlipat ganda, selama pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal shalih.
Solusi
Sebagian dari kita, mungkin obat dari rindu adalah memandang foto, namun justru inilah yang akan menambah rasa rindu itu . Ada syair yang mengatakan : ? Dan kau mengira bahwa itu dapat mengobati luka (syahwat)mu, padahal, dengan itu berarti kau menoreh luka di atas luka.
Jadi, mengingat bahayanya, sebaiknya jika kita selalu menundukkan pandangan pada lawan jenis yang bukan mahram
Dan di dalam Musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah:
“Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barangsiapa yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari? Kiamat.”
Nabi pernah ditanya tentang hal yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam Neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan”. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”
Serta dalam Al-Quran dijelaskan:
“Dan hamba-hamba Ar-Rahman, yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Al-Furqan: 63).
Jadi kunci pertamanya adalah menjaga pandangan, menjaga lisan, menjaga langkah, serta menjaga pikiran. Namun, jika anda tidak berhasil, maka solusi satu-satunya adalah menikah.
Pacaran, sebagian menganggap ini adalah hal wajar untuk mengenal lebih dekat sebelum melangsungkan pernikahan. Pacaran bukanlah jaminan langgengnya suatu hubungan berumah tangga. Contoh nyatanya bisa anda lihat pada pasangan-pasangan selebriti kita. Banyak sekali dari mereka yang cerai, walaupun sebelum menikah mereka berpacaran dahulu dalam waktu yang cukup lama. Maka, solusi yang benar adalah ta´aruf.
Ta´aruf, mengenal dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip islami. Biasanya dilakukan di rumah pihak wanita, dengan menggunakan hijab (penghalang yang tidak memungkinkan kita untuk bertatapan secara langsung), dan dengan didampingi oleh muhrim pihak wanita. Kaku? Memang, tapi inilah cara yang sebenarnya. Tetapi dengan kemajuan teknologi, mungkin hal ini bisa dilakukan melalui telephone, email, atau mungkin chating. Tentunya dengan tetap mengedepankan norma-norma Islam.
Hubungan seksual itu boleh dan halal asalkan dilakukan bersama pasangan yang sah, yang diikat tali pernikahan. Kalau hubungan seks itu dilakukan bersamapasangan tanpa ikatan tali pernikahan, itu disebut zina. Dan inilah yang dilarang, mencoba melanggarnya berarti dia berani merintis jalan masuk neraka kelak di alam akherat. Mari kita renungkan firman Allah berikut ini: “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia dapat (pembalasan) dosanya, akan dilipat-gandakan azab (siksa) untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina.” (Qur’an surat al-Furqan: 68-69). Dan Allah juga telah memperingatkan tentang buruknya perbuatan zina dengan firman-Nya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang buruk.” (Qur’an surat al-Isra: 32).
Sesunggunya setiap orang memiliki peluang yang sama untuk berbuat zina dengan siapa saja, kapan saja, dimana saja, asalkank mau melakukannya. Nah, yang hebattentu dia yang tidak mau melakukan zina, padahal kesempatan itu sangat terbuka baginya. Jadi janganlah bangga bagi yang punya hobi zina, karena tak ada hebatnya, karena itu juga bukan prestasi. Sebab banyak orang yang memiliki kesempatan luas untuk berzina, tapi tidak mau untuk melalukannya. Kalau demikian faktanya, lalu apa hebatntnya perbuatan zina itu? Nggak ada hebatnta bukan? Tapi ada lho, orang yang menganggapnya sebagai prestasi, dan karena itu dia merasa bangga karena berhasil ‘menaklukkan’ pasangan untuk diajaknya berbuat zina.
Bagaimana agar tidak terjerumus pada perbuatan zina? Nabi Muhammad sang panutan ummat sejagat pernah memberikan kiat jitu, yaitu agar Anda memperkuat iman dalam dada. Inilah sabda beliau yang sangat terkenal dikalangan orang-orang beriman: “Tidak (akan) berzina orang yang berzina ketika akan berzina ia beriman. Tidak(akan) mencuri orng yang mecuri ketika akan mencuri ia beriman. Dan tidak (akan) meminum arak ketika akan meminumnya ia beriman.” (Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Jadi menurut Nabi Muhammad, seseorang itu tidaklah akan melakukan zina jikalau pada waktu akan berzina imannya lebih dominant ketimbang nafsunya. Begitu juga tidak akan mencuri, tidak akan minum arak, tidak akan korupsi, kalau saja ketika akan melakkukan maksiat-maksiat itu imannya sedang kuat-kuatnya (lebih dominant atau sempurna). Lantaran pada saat itu imannya tidak sempurna, tidak kuat, tidak lebih dominant dibanding maksiat yang akan dilakukannya, maka lunturlah perasan takutnya akan dosa yang ada dibalik perbuatan maksiat tersebut. Sehingga begitu mudah dia melakukannya, akhirnya dia menjadi pelaku pelanggaran larangan Allah swt. Hal ini juga bisa terjadi akibat dari selalu menuruti keinginan hawa nafsu yang lebilh dominant ketimbang iman yang ada di dalam hatinya.
Alangkah jeleknya stigma yang diberikan Allah kepada orng-orang yang dalam menjalani kehidupannya senantiasa diperbudak keinginan nafsunya. Apalagi kalau sampai menyembah nafsu dengan cara rela mengorbankan apa saja asalkan nafsunya terpuaskan. Orang-orang hamba nafsu ini oleh Allah dianalogikan sama seperti binatang ternak. Dan kenyataannya memanglah demikian adanya. Bahkan orang ini bisa lebih sesat daripada binatang, jika dikaitkan dengan perilaku binatang dalam melampiaskan nafsu seksnya. Apa pasalnya? Ya, hanya ayam, kambing, (maaf) anjing atau babi dan binatang lain saja yang pantas melakukan zina. Sebab mereka nggak perelu nikah, tak perlu ikatan resmi. Kita lihat, ayam melakukakn hubungan intimnya dengan ayam betina yang mana saja, tanpa pilih-pilih. Begitu juga kambing, sapi, anjing dan binatang-binatang yang lain.
Jadi, kalau Anda tidak ingin dianggap seperti binatang, lakukanlah hubungan seks hanya dengan istri-istri anda yang sah. Jangan dengan yang lain. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an: “Istri-istrimu adalah (seperti) sawah ladang tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu itu menurut kehendakmu. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang beriman.”
Zina tidaklah lain adalah perbuatan seks menyimpang, keji dan ‘kotor’ menurut pandangan akal maupun menurut pandangan agama. Anda tahu, semua agama pasti melarang perbuatan zaina ini. Karena bisa menimbulkan efek negative yang sangat kompleks. Zina basa merusak tatanan social, juga secara psikologis bisa berdampak buruk bagi pelakunya. Bisa bikin malu kalau kepergok, atau merasa dikejar dosa jika sang pelaku masih ada setitik iman di hatinya.
Mungkin di antara anda ada yang menganggap zina adalah perbuatan yang biasa-biasa saja. Tapi jika anda tahu dari akibat zina secara massal, mungkin juga anda akan tercengang betapa zina itu bisa mengakibatkan dampak negative yang sangat serius bagi kehidupan manusia. Karena itulah Islam tidak kompromi dengan PERBUATAN ZINA. Hukum Islam memberikan hukuman berat bagi para pelakunya untuk menimbulkan efek jera bagi masyarakat. Jika terbukti melakukan zina, maka pelaku zina tersebut bisa dihukum cambuk 100 kali atau dirajam (dilempar batu sampai mati). Jika hukuman ini dipraktekkan dengan benar, dijamin bisa meredam pertumbuhan perilaku zina dalam kehidupan masyarakat.
Mari kita lihat sebagian kecil dari akibat-kibat zina tersebut seperti kita saksikan dalam kehidupan nyata sehari-hari di zaman modern ini.
Zina menyebabkan garis keturunan (nasab) jadi tidak jelas.
Zina bisa menyebarkan wabah penyakit kelamin.
Zina bisa membuat muda-muda enggan menikah.
Zina bisa mengancam keharmonisan rumah tangga
Zina bisa menyebabkan turunnya tingkat kelahiran
Zina bisa memicu tindakan criminal.
An-Nasai menyatakan bahwa Abdillah bin Amr berkata.`Ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul (atau Ummu Mahdun) yang musafih. Dan seorang laki-laki shahabat Rasulullah SAW ingin menikahinya. Lalu turunlah ayat `Seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin`.
Abu Daud, An-Nasai, At-Tirmizy dan Al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amru bin Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang bernama Mirtsad datang ke Mekkah dan memiliki seorang teman wanita di Mekkah bernama `Anaq. Lalu dia meminta izin pada Rasulullah SAW untuk menikahinya namun beliau tidak menjawabnya hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya,`Ya Mirtsad, seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin`.
Para Mufassirin mengatakan bahwa ayat ini selain untuk Mirtsad bin Abi Mirtsad, juga untuk pra shahabat yang fakir yang minta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi para wanita pelacur dari kalangan ahli kitab dan para budak wanita di Madinah, maka turunlah ayat ini.
III. Pengertian Zina :
Para ulama fiqih memberi batasan bahwa zina yang dimaksud adalah masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita tanpa nikah atau syibhu nikah (mirip/setengah nikah).
Bahkan ulama Al-Hanafiyah memberikan definisi yang jauh lebih rinci lagi yaitu : hubungan seksual yang haram yang dilakukan oleh mukallaf (aqil baligh) pada kemaluan wanita yang hidup dan musytahah dalam kondisi tanpa paksaan dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam) di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.
Bila kita breakdown definisi Al-Hanafiyah ini maka kita bisa melihat lebih detail lagi :
1. Hubungan seksual : sedangkan percumbuan yang tidak sampai penetrasi bukanlah dikatakan sebagai zina.
2. Yang haram : maksudnya pelakuknya adalah seorang mukallaf (aqil baligh). Maka orang gila atau atau anak kecil tidak masuk dalam definisi ini.
3. pada kemaluan : sehingga bila dilakukan pada dubur bukanlah termasuk zina oleh Al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan oleh Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah meski dilakukan pada dubur sudah termasuk zina.
4. seorang wanita : bila dilakukan pada sesama jenis atau pada binatang bukan termasuk zina.
5. yang hidup : bila dilakukan pada mayat bukan termasuk zina.
6. musytahah : maksudnya adalah bukan wanita anak kecil yang secara umum tidak menarik untuk disetubuhi.
7. dalam kondisi tanpa paksaan : perkosaan yang dialami seorang wanita tidaklah mewajibkan dirinya harus dihukum.
8. dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam)
9. di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.
Dalam pengertian zina, terkandung beberapa hal yang menentukan apakah sebuah perbuatan itu termasuk zina secara syar`i atau tidak, antara lain :
a.. Pelakunya adalah seorang mukallaf, yaitu aqil dan baligh. Sedangkan bila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang wajib dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu. b.. Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori zina, namun punya hukum tersendiri. c.. Dilakukan dengan manusia yang masih hidup. Sedangkan bila seseorang menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila dilakukan dengan memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita. Jadi bila dimasukkan ke dalam dubur (anus), tidak termasuk kategori zina yang dimaksud dan memiliki hukum tersendiri. Namun Imam Asy-Syafi`i dan Imam Malik dan Imam Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina yang dimaksud.
a.. Perbuatan itu dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa baik oleh pihak laki-laki maupun wanita. § b.. Perbuatan itu dilakukan di negeri yang secara resmi berdiri tegak hukum Islam secara formal, yaitu di negeri yang `adil` atau `darul-Islam`. Sedangkan bila dilakukan di negeri yang tidak berlaku hukum Islam, maka pelakunya tidak bisa dihukum sesuai dengan ayat hudud.
VI. Syarat Dilaksanakannya Hukuman Zina :
Sedangkan untuk sampai kepada eksekusi atas pelaku perzinahan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
1. Pelakunya adalah seorang yang sudah cukup usia (baligh).
2. Pelakunya adalah seorang yang sudah waras akalnya (aqil). Seorang gila bila berzina dengan orang waras, maka yang dihukum hudud hanyalah yang waras saja, sedangkan yang gila tidak dihukum hudud.
3. Pelakunya adalah seorang muslim dan muslimah. Pendapat Al-Malikiyah bahwa bila seorang kafir laki-laki berzina dengan seorang wanita kafir maka tidak dihukum hudud tetapi dihukum ta`zir sesuai dengan pandangan hakim sebagai pelajaran bagi keduanya. Sedangkan bila laki-laki kafir berzina dengan wanita muslimah, maka yang laki-laki dihukum ta`zir sedang yang muslimah dihukum hudud.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa seorang kafir yang berzina dihukum hudud.
4. Perbuatan itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Jumhur ulama sepakat bahwa seorang yang berzina karena terpaksa, maka tidak dapat dijatuhi hukuman hudud. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan harus dihukum hudud. Namun Sehingga yang dizinai secara paksa atau diperkosa tidak dihukum
5. Perbuatan itu dilakukan dengan seorang manusia bukan dengan hewan. Bila dilakukan dengan hewan, maka pelakuknya dihukum dengan ta`zir bukan dengan hudud. Sedangkan hukum hewan yang disetubuhi itu tetap halal dan dagingnya boleh dimakan. Namun Al-Hanabilah menyatakan bahwa bila perbuatan itu disaksikan oleh minimal 2 orang, maka hewan itu dibunuh, pelakunya diwajibkan membayar harga hewan itu tapi dagingnya tidak halal dimakan.
6. Pasangan itu baik laki-laki atau wanita adalah mereka yang sudah masuk kategori bisa melakukan hubungan seksual. Bila laki-laki bersetubuh dengan wanita di bawah umur, tidak dihukum hudud. Begitu juga bila seorang wanita dewasa bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh.
7. Perbuatan itu tidak mengandung syubhat. Seperti bila seorang menyangka wanita yang disetubuhinya adalah istrinya tapi ternyata bukan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan karena syubhatnya itu, maka Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan tetap harus dihukum hudud.
8. Pelakunya adalah orang yang mengerti dan tahu bahwa ancaman hukuman zina adalah hudud yaitu rajam atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Sehingga bila pelakunya mengaku bahwa dia tidak tahu ancaman hukuman zina, maka para ulama berbeda pendapat.
9. Wanita yang dizinai bukanlah seorang kafir harbi.
10. Wanita yang dizinai adalah seorang wanita yang masih hidup atau bernyawa. Sedangkan menyetubuhi mayat memiliki hukum tersendiri.
V. Jenis Zina dan hukumannya
1. Jenis Zina
Para ulama membagi pelaku zina menjadi dua macam, yaitu :
a. Pelaku zina yang belum pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut ghairu muhshan.
b. Pelaku zina yang sudah pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut muhshan.
2. Hukuman buat pezina :
Hukuman buat pezina terbagi dua macam sesuai dengan pelakunya, apakah muhshan atau ghairu muhshan.
a. Hukuman zina ghairu muhshan
Hukuman zina ghairu muhshan adalah jalad atau cambuk dan diasingkan selama setahun.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
`Wanita dan laki-laki yang berzina maka cambuklah masing-masing mereka seratus kali.`
Selebihnya yaitu tentang mengasingkan mereka selama setahun, para ulama sedikit berbeda pandangan : E Al-Hanafiyah berpendapat bahwa seorang muhshan cukup dicambuk 100 kali saja tanpa harus diasingkan selama setahun. Dalil yang mereka gunakan adalah zahir ayat yang secara terang hanya menyebutkan hanya cambuk saja tanpa menyebutkan pengasingan.
Dan bila ditambah dengan cambuk, maka menjadi penambahan atas nash dan penambahan itu menjadi nasakh. Jadi masalah mengasingkan bagi Al-Hanafiyah bukan termasuk hudud, tetapi dikembalikan kepada hakim sebagai bentuk hukuman ta`zir. Bila hakim memandang ada mashlahatnya maka bisa dilakukan dan bila tidak maka tidak perlu dilakukan.
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpandangan bahwa mengasingkan pezina selama setahun adalah bagian dari hudud dan harus digabungkan dengan pencambukan. Pengasingan itu sendiri ditentukan bahwa jaraknya minimal jarak yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Dalil yang mereka gunakan untuk mengasingkan ini adalah sabda Rasulullah SAW :
`Ambillah dariku (ajaran agamamu) yang Allah telah jadikannya sebagai jalan. Perawan dan bujangan yang berzina maka hukumannya adalah cambuk dan diasingkan setahun. Dan orang yang sudah menikah yang berzina maka hukumannya adalah cambuk 100 kali dan rajam`.
Namun mereka mengatakan bahwa pengasingan ini hanya berlaku bagi lak-laki saja, sedangkan wanita yang berzina tidak perlu diasingkan kecuali ada mahram yang menemaninya seperti suami atau mahram dari keluarganya. Karena Rasulullah SAW melarang bepergiannya seorang wanita,`Wanita tidak boleh bepergian lebih dari 3 hari kecuali bersama suami atau mahramnya`.
Al-Malikiyah berkata bahwa laki-laki diasingkan ke negeri yang asing baginya selama setahun, sedangkan wanita tidak diasingkan karena takut terjadinya zina untuk kedua kalinya sebab pengasingan itu.
b. Hukuman zina muhshan
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara umum yaitu,`Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah`.
Dan secara praktek, selama masa hidup Rasulullah SAW paling tidak tercatat 3 kali beliau merajam pezina yaitu Asif, Maiz dan seorang wanita Ghamidiyah. E Asif berzina dengan seorang wanita dan Rasulullah SAW memerintahkan kepada Unais untuk menyidangkan perkaranya dan beliau bersabda,`Wahai Unais, datangi wanita itu dan bila dia mengaku zina maka rajamlah`. E Kisah Maiz diriwayatkan dari banyak alur hadits dimana Maiz pernah mengaku berzina dan Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya. E Kisah seorang wanita Ghamidiyah yang datang kepada Rasulullah SAW mengaku berzina dan telah hamil, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melahirkan dan merawat dulu anaknya itu hingga bisa makan sendiri dan barulah dirajam.
Zina muhshan adalah puncak perbuatan keji sehingga akal manusia pun bisa menilai kebusukan perbuatan ini, karena itu hukumannya adalah hukuman yang maksimal yaitu hukuman mati dengan rajam.
VI. Syarat untuk merajam
Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu. Karena beratnya hukuman ini, maka sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup pelik. Syarat itu adalah terpenuhinya kriteria ihshah (muhshan) yang terdiri dari rincian sbb :
1.. Islam 2.. Baligh 3.. Akil 4.. Merdeka 5.. Iffah 6.. Tazwij Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari nikah yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini adalah yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah.
Bila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga hukumannya bukan rajam.
VII. Penetapan / vonis zina
Untuk bisa melakukan hukuman bagi pezina, maka harus ada k3Cp>Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua cara :
1. Ikrar atau pengakuan dari pelaku
etetapan hukum yang syah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari langit yaitu syariat Islam.
Pengakuan sering diseubt dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah melakukan kejahatan. Bila seorang telah berikrar di muka hakim bahwa dirinya berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.
Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada Maiz dan wanita Ghamidiyah.
Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra., Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu dan menanyakannya,`Bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa memintanya mengulang-ulang pengakuannya.
Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra., kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di emapt tempat yang berbeda.
Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan berkata,
`Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari ?`. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).
Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.
Dasarnya adalah sebuah hadits berikut :
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
2. Saksi yang bersaksi di depan mahkamah
Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasrkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.
Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :
1.. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,`Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan`.(QS. An-Nisa` : 15). 2.. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Nughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad. 3.. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh, maka persaksian itu tidak syah. 4.. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya. 5.. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam. 6.. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina. 7.. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa kiasan. 8.. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dna dalam satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka. 9.. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian mereka tidak syah. Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman hudud, tetapi bisa dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam syariat secara baku.
Bahkan bila ada seorang wanita hamil dan tidak ada suaminya, tidak bisa langsung divonis telah berzina. Tetap diperlukan pengakuan atau persaksian. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib bertanya kepada wanita yang hamil di luar nikah,`Apakah kamu dipaksa berzina ?`. `Tidak`. `Barangkali ada laki-laki yang menidurimu saat kamu tidur ? `. . .
Hanya Imam Malik ra. yang mengatakan bahwa bila ada wanita hamil tanpa suami dan tidak ada indikasi diperkosa, maka wanita itu harus dihukum hudud.
1 komentar:
Tulisan diatas hanya di coppas dari Blog lain,... saya hanya menyampaikan tulisan ini di blog saya bagaimana pendapat anda anda sendiri yg bisa menilai mana yg baik dan buruknya...!!! ttd penulis Andika jeki
Posting Komentar